Bismillahir-Rahmanir-Rahim... Suatu pagi di surga, seorang tokoh NU duduk di teras rumahnya yang asri. Dalam ketenangan pagi, ia khusyuk membolak-balik halaman kitab kuning seperti kebiasaannya di dunia dulu. Di meja sebelah, sepiring kacang rebus dan secangkir kopi susu mengepulkan asap hangat. Sesekali tokoh NU ini menjumput sebutir kacang rebus, membuka kulitnya, dan mengunyahnya pelan-pelan sambil matanya tak beranjak dari halaman buku yang tengah ia pegang.
Ini surga. Pagi di surga pastilah terasa sangat damai.
Tepat di depan rumah si tokoh NU, terdapat pula sebuah rumah yang tak kalah asrinya. Rumah itu terletak di seberang jalan. Bentuk, ukuran, keindahan serta kemewahan rumah itu persis sama seperti rumah jatah si tokoh NU itu. Pastilah kedua rumah itu merupakan hasil investasi yang sepadan.
Pintu rumah di seberang jalan itu membuka pelan. Sang pemilik keluar rumah menuju halaman depannya yang sangat indah. Wajah si pemilik rumah memancarkan cahaya yang menebarkan damai. Dulu di dunia, ia adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang cukup dikenal. Intelektual yang rajin berdakwah, itulah dia.
Dan pagi itu, terkejutlah si tokoh Muhammadiyah itu, ketika ia dari halaman rumahnya memandang ke rumah tetangga di seberang jalan.
“Ya Allah, ya Rahman ya Rahim,” gumamnya, “Aku seperti kenal wajah tetangga di depan rumah itu.”
Ini surga. Pagi di surga pastilah terasa sangat damai.
Tepat di depan rumah si tokoh NU, terdapat pula sebuah rumah yang tak kalah asrinya. Rumah itu terletak di seberang jalan. Bentuk, ukuran, keindahan serta kemewahan rumah itu persis sama seperti rumah jatah si tokoh NU itu. Pastilah kedua rumah itu merupakan hasil investasi yang sepadan.
Pintu rumah di seberang jalan itu membuka pelan. Sang pemilik keluar rumah menuju halaman depannya yang sangat indah. Wajah si pemilik rumah memancarkan cahaya yang menebarkan damai. Dulu di dunia, ia adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang cukup dikenal. Intelektual yang rajin berdakwah, itulah dia.
Dan pagi itu, terkejutlah si tokoh Muhammadiyah itu, ketika ia dari halaman rumahnya memandang ke rumah tetangga di seberang jalan.
“Ya Allah, ya Rahman ya Rahim,” gumamnya, “Aku seperti kenal wajah tetangga di depan rumah itu.”
Bergegas, ia berjalan melintasi jalan di depan rumahnya untuk memastikan. Dugaannya benar. Orang di seberang jalan itu memang adalah orang yang dulu ia kenal di dunia.
Maka diucapkanlah salam. “Assalamualaikum.”
Sedikit terkejut, si tokoh NU di seberang jalan mengangkat pandangan dari kitab kuningnya, dan membalas salam, “wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.”
Lalu makin terkejutlah ia ketika melihat siapa yang baru saja menyapanya. “Ya akhi, ternyata antum. Ngapain di sini?”
“Lah, itu juga yang saya ingin tanyakan sama panjenengan,” jawab si tokoh Muhammadiyah. “Ngapain anda di sini?”
“Saya tidak tahu mengapa saya ada di sini. Seingat saya semenjak usai yaumul-hisab tiba-tiba saja saya mendapati diri berada di tempat yang indah ini. Sangat menyenangkan.”
“Ya memang menyenangkan. Tapi yang bikin saya bingung, bagaimana anda bisa masuk surga?”
“Kenapa bingung ya akhi?”
“Bukankah di masa hidup dulu anda ini terkenal banget dengan ibadah yang penuh TBC, tahyul-bid’ah-churafat, itu. Anda seingat saya gemar sekali nyampur-nyampur ajaran Agama dengan tradisi masyarakat. Anda itu senangnya menyanjung-nyanjung Rasulullah dengan cara yang mengkhawatirkan.”
“Mengkhawatirkan?” Tanya si tokoh NU.
“Iya, mengkhawatirkan, sebab mudah sekali membuat anda terjerumus pada mengkultuskan Muhammad.”
“Jadi, kenapa kalau mengkultuskan Muhammad?”
“Lho, itu kan bisa menggelincirkan orang pada syirik kalau tak hati-hati.”
“Lha iya, kan saya sudah hati-hati biar kultus itu tak berubah jadi syirik.”
“Anda ini gegabah. Dan itu yang bikin saya heran.”
“Heran gimana toh antum ini?”
“Ya saya heran, bagaimana bisa anda masuk surga.”
“Lha ya itu. Apa antum kira saya tidak heran juga?”
“Lho kok heran juga. Apa maksudnya?”
“Ya saya ini heran juga. Kok bisa antum ini masuk surga. Padahal antum dulu sukanya beribadah yang minim-minim saja. Tidak ada afdhol-afdholnya sama sekali ibadah antum itu. Antum suka naruh Al Qur’an sembarangan, tergeletak begitu saja di meja, seperti buku-buku biasa. Dan bukankah antum dulu sering sekali salat idul fitri di tanggal 30 Ramadlan? Ck… ck… ck… ”
“Lho, itu hasil hisab.”
“Iya hasil hisab. Kami juga hisab dulu sebelum rukyat. Dan hasil hisab kami gak senekad antum itu.”
“Itu metode anda saja yang sudah ketinggalan jaman.”
“Ah kami selalu belajar ilmu falakh terbaru, dan metode kami juga terbaru. Tapi saya gak heran kalau dalam hal ini. Dari dulu antum ini paling susah kalau diminta untuk tawaddu’ ya akhi…”
“Terus, apa maksudnya?” Tanya si tokoh Muhammadiyah lagi.
“Ya maksudnya, antum ini kok bisa masuk surga. Saya heran.”
Keduanya lalu tertegun. Benar juga. Dengan dua ragam ibadah yang satu sama lain saling berbeda, mengapa keduanya bisa sama-sama masuk surga? Bahkan, rumah mereka pun sangat mirip.
Mereka berdua lalu memutuskan untuk mencari jawaban, apa sebenarnya yang membawa mereka ke surga. Di tengah keasyikan diskusi mereka yang tentunya penuh do’a dan senyum, malaikat lewat di dekat mereka. Tanpa melewatkan ini, kedua tokoh NU dan Muhammadiyah itu menegur malaikat tersebut dan langsung mengajukan pertanyaan tentang kerisauan hati mereka.
Malaikat itu mulai dengan menyajikan statistik amal ibadah kedua tokoh ini. Betapa mengesankan nilai ibadah mereka berdua. Masing-masing tersenyum bangga membaca catatan statisitk ibadah mereka.
Tapi senyum itu tak lama. Malaikat kemudian mengkonversi prestasi ibadah mereka masing-masing ke dalam nilai tukar untuk membeli tiket ke surga. Ternyata, seluruh nilai ibadah mereka berdua itu tak memiliki nilai tukar yang berarti. Dengan seluruh prestasi ibadah itu, mereka tak akan sanggup membeli sekuntum bunga surga pun–apalagi rumah indah-mewah-megah seperti yang kini mereka tinggali.
Jadi, kata malaikat itu, ibadah mereka mungkin bernilai, tapi nilainya sangat kecil.
Lalu apa yang membawa mereka berdua ke surga? Malaikat menjawab, yang membawa mereka ke surga adalah ridla Allah.
“Apa yang membuat Allah ridla pada kami?” tanya mereka berdua.
“Hanya Allah yang tahu,” jawab si malaikat enteng.
“Lalu tak berguna sama sekalikah ibadah kami itu?”
“Tentu berguna. Ibadah itu adalah cara anda berdua untuk meminta ridla Allah.” Jawab malaikat dengan penuh senyum
“Lha bagaimana dengan ibadah teman saya ini yang penuh bid’ah?” tanya si tokoh Muhammadiyah.
“Iya,” si tokoh NU menimpali cepat. “Bagaimana pula dengan ibadah dia yang serba minim dan hambar itu?”
“Dalam penilaian Allah yang penting adalah hati yang menggerakkan ibadah itu,” jawab si malaikat, “dan bukan ragam-rinci ibadah itu sendiri.” lanjutnya
“Jadi dengan hati yang tulus, Allah me-ridhai kami?”
“Belum tentu juga. Ridla Allah ya sepenuhnya hak Allah.”
“Jadi, wahai malaikat, ente pun tak bisa sepenuhnya tahu apa yang membuat Allah ridla?”
“Begitulah.”
“Ah, payah ente.”
“Lho, tapi saya tahu apa yang bisa membuat ridla Allah lenyap musnah.”
“Apa itu?”
“Kesombongan, dan hati yang merasa diri paling benar sedang orang lain pasti salah.”
----
Dari cerita di atas dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa perbedaan yang terdapat dalam umat Islam masa kini tidak perlu diperbesar dan janganlah lagi ada saling hina menghina, hujat menghujat dan serang menyerang antara yang satu dengan yang lainnya.
Mari kita tingkatkan ukhuwah kita demi membangun suatu kehidupan yang harmonis antar sesama saudara ummat islam..
Intinya agama Islam itu satu, dan tidak ada berbagai macam jenis Islam yang lainnya. Sedangkan perbedaan pendapat dan golongan itu adalah bentuk dari pengembangan pemikiran Islam. Namun perlu digarisbawahi bahwa perbedaan-perbedaan tersebut hanya dalam ranah furu'iyah saja. Jika kemudian perbedaan yang berkembang justru menjurus kepada perbedaan akidah dan tauhid, maka tentu saja dalam hal ini kebenaran atau yang haq itu harus kita kedepankan. Karena batasan dan rambu-rambu yang digambarkan Islam dalam wilayah tauhid dan akidah itu sudah sangat jelas.
jangan menaikan alismu ketika kau melihat suatu perbedaan,,
jangan mengerutkan keningmu ketika kau mendengar suatu perbedaan,,
dan janganlah melakukan itu,,
"Dan berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah, dan janganlah kalian berpecah belah...." (Ali Imran: 103).
Sumber: Fans Page FB sebelah
erpa
Selasa, 13 Muharram 1433 H / 09 Desember 2011 M - 04:12 WIB
Selasa, 13 Muharram 1433 H / 09 Desember 2011 M - 04:12 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar