Seuntai Mutiara


Persahabatan sejati tidak terlihat dari banyaknya pertemuan. Tapi persahabatan sejati terlihat dari tulusnya seorang sahabat menyebut nama sahabatnya dalam setiap doanya.

"Semua pasti ada hikmahnya... Di balik setiap kesulitan pasti ada kemudahan... "

Kita ada di dunia bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai tetapi untuk belajar mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna

Orang yang paling berkesan dalam hidupmu adalah orang yang mampu mencintaimu ketika kamu bukan seseorang yang mudah dicintai





Jumat, 14 Agustus 2009

Kejadian Tak Menyenangkan di Jalanan


Sembari menunggu pagi tiba, secara waktu penulisan postingan ini adalah pukul 04.09 WIB, enaknya baca-baca blog orang dan mulai mempelajari hikmah yang terkandung di dalamnya. Tiba-tiba juga, teringat beberapa kejadian yang bisa dibilang tak enak untuk dilihat. Apalagi terjadi di jalanan ibukota yang penuh dengan hiruk pikuk berbagai alat transportasi darat yang bermacam-macam bentuknya.

Dimulai dari Rabu malam Kamis kemarin. Seperti yang telah tercetak di jadwal, hari ini ku dapat shift malam. Sehabis sholat maghrib langsung keluar dengan hati yang tak keruan. Singkat cerita, beberapa saat setelah turun dari kendaraan pertama lalu menunggu bus ke arah Senen. Tumben, tak berapa lama bus pun datang namun waktu berbelok dan pada saat itu juga ku naik, bus itu enggan untuk berhenti walau sesaat.

Sampailah pada sebuah kursi kosong dan bisa kutempati untuk duduk sesaat sampai ke tujuan berikutnya, Senen. Bus ini dikendarai dengan agak kasar dan dibawa dalam kecepatan yang menurut ku kurang pantas untuk jalanan dengan ukuran lebar kurang dari 5 meter sementara di sisi kanan atau kirinya ada saja kendaraan yang mengapit.

Tiba di jalan menuju gang kelor, tepatnya sebelah kiri patung yang menggambarkan berdiri tegak dua orang manusia. Seorang bapak dan seorang anak yang berada di dekat shelter TransJakarta Kebon Pala. Bus P9A yang kutumpangi terus melaju dengan gas yang terus tertancap tanpa diredam dengan pedal rem dan ku kira itu yang membuat pengendara sepeda motor di depannya ikut melaju cepat. Sementara di depan bus itu pula yang kebetulan sudah hampir sejajar dengan motor tadi, sudah ada dua orang yang sedang menyeberang jalan. Entah kapan munculnya.

Dua orang itu jika bisa digambarkan hanya memiliki dua pilihan. Tetap menyeberang dengan agak pelan dengan menunggu motor di depannya terlintas namun harus mengambil resiko dicium bus P9A yang ku tumpangi ini. Atau pilihan yang lain. Tetap menyeberang dengan agak cepat untuk menghindari ciuman bus P9A dengan resiko diendus sepeda motor di depannya.

Akhirnya, dengan mata kepala yang sudah terlalu banyak pikiran saat itu, ku lihat kedua orang itu memilih opsi kedua. Innalilahi, tersentak karena kageet melihat apa yang baru saja terjadi. Ternyata dugaanku salah. Kedua orang yang harusnya diendus sepeda motor itu tetap pada posisinya menyeberang jalan sambil menabrakan diri ke sepeda motor yang seketika itu pengendara dan motornya itu pun oleng dan terjatuh.

Wallahu a'lam, bagaimana akhirnya nasib mereka. Bus P9A tetap melaju menuju Senen dengan rasa congkaknya. Bahkan, si kondektur dengan gampangnya mengeluarkan sumpah serapah yang tak pantas untuk menilai keapesan si pengendara sepeda motor itu. Huff.. apa yang salah dengan otaknya. Mungkin karena sudah petang menjelma sehingga itu adalah sebuah hiburan baginya untuk melampiaskan kepenatan mencari sesuap nasi lewat menagih uang tarif bus kota.

Itu baru cerita petang menjelang malam hari. Berbeda pula dengan pagi harinya. Setelah yakin yang kulihat itu bus jurusan Kampung Melayu, langsung saja ku berlari menyongsongnya. Dengan terengah-engah dan disertai mata yang mulai mengantuk karena begadang untuk monitor di malam hari, ku mulai berdiri bersandar kursi penumpang di depan. Penuh sudah kursi yang ada dengan para penumpang yang ku lihat telat terlebih dahulu menikmati tidur singkatnya di bus ini.

Bertahan untuk berdiri hingga beberapa menit ke depan, tak lebih dari empat puluh menit ku rasa. Hingga dapatlah sebuah kursi yang baru saja ditinggalkan penduduknya. Ku coba istirahatkan diri. Belum sempat terlelap, tiba-tiba ku lihat dari sisi kiri sebuah mobil sejenis Toyota Avanza keluar tanpa coba menunggu kendaraan yang ku tumpangi memberhentikan dirinya. Sebenarnya, bus ini hendak menepikan diri untuk menurunkan penumpang dan si kondektur sedang koordinasi untuk menurunkan penumpang dari pintu belakang bus. Sementara si supir sendiri sedang mengawasi sisi kanan bus lewat kaca spion.

Seketika itu, brakkk... Bunyi yang akan menimbulkan penyakit sosial pun terdengar di telinga para penumpang bus. Ternyata, mobil Avanza tadi yang mencoba keluar dari sebuah gerbang terserempet bus yang kutumpangi yang hendak menepikan diri. Bus coba ditepikan agak ke depan. Tiba-tiba, seorang oknum polisi yang tak lain adalah supir mobil tersebut meminta sang supir turun secara kasar. Seperti sudah kerasukan setan, dia coba meraih baju sang supir dan hendak menariknya keluar yang ingin diajaknya bergelut. Penumpang pun panik.

Sang supir bus mencoba bertahan untuk turun namun tidak ingin memancing amarah si oknum tersebut. Kemudian dengan dibantu sang kondektur si supir coba menyelesaikan masalah. Namun dari cerita yang beredar dari para penumpang yang turun dan ikut menyaksikan kejadian itu disertai dengan layangan pukulan si oknum kepada sang supir. Mata dan badan ku sudah terlalu lelah untuk ikut turun menyaksikan dan akhirnya coba untuk duduk dan ingin tidur rasanya. Sampai beberapa saat kejadian itu selesai dan ku lihat ada orang yang sempat mencatat ciri-ciri dan nomor polisi bus ini seperti ingin meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.

Apakah baginya ini bukan merupakan suatu teguran terhadapnya ??? Bisa jadi mobil itu memang ditakdirkan untuk diberikan tanda kenang-kenangan berupa luka lecet akibat gesekan akibat terserempet. Hal itu mungkin saja terjadi karena cara mendapatkan mobil itu boleh jadi ada yang kurang baik.

Apakah orang yang seharusnya menjadi pengaman malah menjadi biang pembawa penyakit sosial, pemutus rasa saling hormat menghormati sebagai manusia yang sama derajatnya, yang sama-sama berjalan di muka bumi untuk mencari sesuap nasi melalui perannya masing-masing ??? Sungguh, dia telah menghinakan dirinya sendiri.

Orang yang diberi kekuasaan lewat tangannya supaya dapat menegakkan keadilan pada setiap tindak kekerasan malah dia yang memicu. Apakah dunia ini sudah tidak memerlukan peradaban sehingga setiap masalah harus diselesaikan dengan tindak kekerasan dan memakai hukum rimba ???

erpa signature
Jum'at, 23 Sya'ban 1430 H / 14 Agustus 2009 M - 05.59 WIB

Kamis, 06 Agustus 2009

Nishfu Sya'ban 1430 H


Malam ini sudah masuk dalam hitungan 15 Sya'ban 1430 H. Itu artinya, ini adalah malam nishfu Sya'ban yaitu malam pertengahan di bulan Sya'ban. Ini diperingati menjelang bulan Ramadhan. Nishfu Sya'ban yang umat Islam banyak peringati adalah dengan melaksanakan pembacaan surotul Yaasiin sebanyak 3 kali dengan diselingi do'a di setiap perantaraaanya. Yaitu dengan harapan berupa : dipanjangkan umur untuk melaksanakan ketaatan beribadah kepada Allah SWT; memohon rezeki yang banyak lagi halal dan berkah kepada Allah SWT untuk bekal beribadah kepada Allah SWT; dan memohon dikuatkan iman serta mendapat khusnul khotimah.

Berikut adalah informasi yang lebih lengkap mengenai Nishfu Sya'ban.

Sya'ban adalah istilah bahasa Arab yang berasal dari kata syi'ab yang artinya jalan di atas gunung. Islam kemudian memanfaatkan bulan Sya’ban sebagai waktu untuk menemukan banyak jalan, demi mencapai kebaikan.

Karena bulan Sya’ban terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, karena diapit oleh dua bulan mulia ini, maka Sya’ban seringkali dilupakan. Padahal semestinya tidaklah demikian. Dalam bulan Sya’ban terdapat berbagai keutamaan yang menyangkut peningkatan kualitas kehidupan umat Islam, baik sebagai individu maupun dalam lingkup kemasyarakatan.

Karena letaknya yang mendekati bulan Ramadhan, bulan Sya’ban memiliki berbagai hal yang dapat memperkuat keimanan. Umat Islam dapat mulai mempersiapkan diri menjemput datangnya bulan termulia dengan penuh suka cita dan pengharapan anugerah dari Allah SWT karena telah mulai merasakan suasana kemuliaan Ramadhan.

Rasulullah SAW bersabda,

ذاكَ شهر تغفل الناس فِيه عنه ، بين رجب ورمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، وأحب أن يرفع عملي وأنا صائم -- حديث صحيح رواه أبو داود النسائي

Bulan Sya'ban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa.” (HR Abu Dawud dan Nasa'i)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pengakuan Aisyah, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berpuasa (sunnah) lebih banyak daripada ketika bulan Sya’ban. Periwayatan ini kemudian mendasari kemuliaan bulan Sya’ban di antar bulan Rajab dan Ramadhan.

Karenanya, pada bulan ini, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak berdzikir dan meminta ampunan serta pertolongan dari Allah SWT. Pada bulan ini, sungguh Allah banyak sekali menurunkan kebaikan-kebaikan berupa syafaat (pertolongan), maghfirah (ampunan), dan itqun min adzabin naar (pembebasan dari siksaan api neraka).

Dari sinilah umat Islam, berusaha memuliakan bulan Sya’ban dengan mengadakan shodaqoh dan menjalin silaturrahim. Umat Islam di Nusantara biasanya menyambut keistimewaan bulan Sya’ban dengan mempererat silaturrahim melalui pengiriman oleh-oleh yang berupa makanan kepada para kerabat, sanak famili dan kolega kerja mereka. Sehingga terciptalah tradisi saling mengirim parcel di antara umat Islam.

Karena, di kalangan umat Islam Nusantara, bulan Sya’ban dinamakan sebagai bulan Ruwah, maka tradisi saling kirim parcel makanan ini dinamakan sebagai Ruwahan. Tradisi ini menyimbolkan persaudaraan dan mempererat ikatan silaturrahim kepada sesama Muslim.

Nishfu Sya’ban

Sya’ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriyah. Keistimewaan bulan ini terletak pada pertengahannya yang biasanya disebut sebagai Nishfu Sya'ban. Secara harfiyah istilah Nisfu Sya’ban berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya'ban atau tanggal 15 Sya'ban.

Kaum Muslimin meyakini bahwa pada malam ini, dua malaikat pencatat amalan keseharian manusia, yakni Raqib dan Atid, menyerahkan catatan amalan manusia kepada Allah SWT, dan pada malam itu pula buku catatan-catatan amal yang digunakan setiap tahun diganti dengan yang baru.

Imam Ghazali mengistilahkan malam Nisfu Sya'ban sebagai malam yang penuh dengan syafaat (pertolongan). Menurut al-Ghazali, pada malam ke-13 bulan Sya'ban Allah SWT memberikan seperti tiga syafaat kepada hambanya. Sedangkan pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Dengan demikian, pada malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai penutup catatan amalnya selama satu tahun. Karepa pada malam ke-15 bulan Sya’ban inilah, catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke hadapan Allah SWT.

Para ulama menyatakan bahwa Nisfu Sya'ban juga dinamakan sebagai malam pengampunan atau malam maghfirah, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hamba-Nya yang saleh. *(sumber: NU Online)

Sayang, pada malam hari ini ku jaga di kantor sementara di beberapa tempat diadakan peringatan yang salah satunya ada di Monas malam tadi yaitu pembacaan Yaasiin dan dzikir bersama dengan habib Mundzir al Musawwa yang kabarnya dihadiri pula oleh Wapres RI. Apa boleh buat. ^_^"

So, tetep semangat menyongsong bulan mulia, bulan yang ditunggu-tunggu oleh segenap umat Islam yang merindukan pahala yang berlipat di dalamnya. Bulan suci yang akan menyucikan umat yang ingin dirinya menjadi suci.

erpa signature
Kamis, 15 Sya'ban 1430 H / 6 Agustus 2009 M - 05.15 WIB

Rabu, 05 Agustus 2009

Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi


Syekh Jampes, Ulama Dunia dari Kediri

Ia terkenal sebagai seorang ulama yang pendiam dan tak suka publikasi.
Salah satu ulama yang paling berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah nusantara pada abad ke-19 (awal abad ke-20) adalah Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Namun, namanya lebih dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Jampes (kini Al Ihsan Jampes) di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Namanya makin terkenal setelah kitab karangannya Siraj Al-Thalibin menjadi bidang ilmu yang dipelajari hingga perguruan tinggi, seperti Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dan, dari karyanya ini pula, ia dikenal sebagai seorang ulama sufi yang sangat hebat.

Semasa hidupnya, Kiai dari Dusun Jampes ini tidak hanya dikenal sebagai ulama sufi. Tetapi, ia juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu falak, fikih, hadis, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya. Karena itu, karya-karya tulisannya tak sebatas pada bidang ilmu tasawuf dan akhlak semata, tetapi hingga pada persoalan fikih.

Dilahirkan sekitar tahun 1901, Syekh Ihsan al-Jampesi adalah putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal di lingkungan pesantren. Ayahnya KH. Dahlan bin Saleh dan ibunya Istianah adalah pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes. Kakeknya adalah Kiai Saleh, seorang ulama asal Bogor, Jawa Barat, yang masa muda hingga akhir hayatnya dihabiskan untuk menimba ilmu dan memimpin pesantren di Jatim.

Kiai Saleh sendiri, dalam catatan sejarahnya, masih keturunan dari seorang sultan di daerah Kuningan (Jabar) yang berjalur keturunan dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, salah seorang dari sembilan wali penyebar agama Islam di Tanah Air.

Sedangkan, ibunya adalah anak dari seorang kiai Mesir, tokoh ulama di Pacitan yang masih keturunan Panembahan Senapati yang berjuluk Sultan Agung, pendiri Kerajaan Mataram pada akhir abad ke-16.

Keturunan Syekh Ihsan al-Jampesi mengenal sosok ulama yang suka menggeluti dunia tasawuf itu sebagai orang pendiam. Meski memiliki karya kitab yang berbobot, namun ia tak suka publikasi. Hal tersebut diungkap KH. Abdul Latief, pengasuh Ponpes Jampes sekaligus cucu dari Syekh Ihsan al-Jampesi.

Membaca dan menulis
Semenjak muda, Syekh Ihsan al-Jampesi terkenal suka membaca. Ia memiliki motto (semboyan hidup), 'Tiada Hari tanpa Membaca'. Buku-buku yang dibaca beraneka ragam, mulai dari ilmu agama hingga yang lainnya, dari yang berbahasa Arab hingga bahasa Indonesia.

Syekh Jampes - Kitab Kopi dan Rokok

Gambar Kitab Kopi dan Rokok

Seiring kesukaannya menyantap aneka bacaan, tumbuh pula hobi menulis dalam dirinya. Di waktu senggang, jika tidak dimanfaatkan untuk membaca, diisi dengan menulis atau mengarang. Naskah yang ia tulis adalah naskah-naskah yang berisi ilmu-ilmu agama atau yang bersangkutan dengan kedudukannya sebagai pengasuh pondok pesantren.

Pada tahun 1930, Syekh Ihsan al-Jampesi menulis sebuah kitab di bidang ilmu falak (astronomi) yang berjudul Tashrih Al-Ibarat , penjabaran dari kitab Natijat Al-Miqat karangan KH. Ahmad Dahlan, Semarang. Selanjutnya, pada 1932, ulama yang di kala masih remaja menyukai pula ilmu pedalangan ini juga berhasil mengarang sebuah kitab tasawuf berjudul Siraj Al-Thalibin . Kitab Siraj Al-Thalibin ini di kemudian hari mengharumkan nama Ponpes Jampes dan juga bangsa Indonesia.

Tahun 1944, beliau mengarang sebuah kitab yang diberi judul Manahij Al-Amdad , penjabaran dari kitab Irsyad Al-Ibad Ilaa Sabili al-Rasyad karya Syekh Zainuddin Al-Malibari (982 H), ulama asal Malabar, India. Kitab setebal 1036 halaman itu sayangnya hingga sekarang belum sempat diterbitkan secara resmi.

Selain Manahij Al-Amdad , masih ada lagi karya-karya pengasuh Ponpes Jampes ini. Di antaranya adalah kitab Irsyad Al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa Al-Dukhan, sebuah kitab yang khusus membicarakan minum kopi dan merokok dari segi hukum Islam.

Kitab yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Syurbati al-Qahwati wa al-Dukhan (kitab yang membahas kopi dan rokok) ini tampaknya ada kaitannya dengan pengalaman hidupnya saat masih remaja.

Di kisahkan, sewaktu muda, Syekh Ihsan terkenal bandel. Orang memanggilnya 'Bakri'. Kegemarannya waktu itu adalah menonton wayang sambil ditemani segelas kopi dan rokok. Kebiasannya ini membuat khawatir pihak keluarga karena Bakri akan terlibat permainan judi. Kekhawatiran ini ternyata terbukti. Bakri sangat gemar bermain judi, bahkan terkenal sangat hebat. Sudah dinasihati berkali-kali, Bakri tak juga mau menghentikan kebiasan buruknya itu.

Hingga suatu hari, ayahnya mengajak dia berziarah ke makam seorang ulama bernama KH Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya. Di makam tersebut, ayahnya berdoa dan memohon kepada Allah agar putranya diberikan hidayah dan insaf. Jika dirinya masih saja melakukan perbuatan judi tersebut, lebih baik ia diberi umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat dan masyarakat.

Selepas berziarah itu, suatu malam Syekh Ihsan (Bakri) bermimpi didatangi seseorang yang berwujud seperti kakeknya sedang membawa sebuah batu besar dan siap dilemparkan ke kepalanya. ''Hai cucuku, kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan batu besar ini ke kepalamu," kata kakek tersebut.

Ia bertanya dalam hati, ''Apa hubungannya kakek denganku? Mau berhenti atau terus, itu bukan urusan kakek,'' timpal Syekh Ihsan. Tiba-tiba, sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syekh Ihsan hingga kepalanya pecah. Ia langsung terbangun dan mengucapkan istighfar. ''Ya Allah, apa yang sedang terjadi. Ya Allah, ampunilah dosaku.''

Sejak saat itu, Syekh Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Pulau Jawa. Mengambil berkah dan restu dari para ulama di Jawa, seperti KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Hasyim Asyari (Jombang), dan KH. Muhammad Kholil (Bangkalan, Madura).

Tawaran Raja Mesir
Di antara kitab-kitab karyanya, yang paling populer dan mampu mengangkat nama hingga ke mancanegara adalah Siraj Al-Thalibin. Bahkan, Raja Faruk yang sedang berkuasa di Mesir pada 1934 silam pernah mengirim utusan ke Dusun Jampes hanya untuk menyampaikan keinginannya agar Syekh Ihsan al-Jampesi bersedia diperbantukan mengajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Namun, beliau menolak dengan halus permintaan Raja Faruk lewat utusannya tadi dengan alasan ingin mengabdikan hidupnya kepada warga pedesaan di Tanah Air melalui pendidikan Islam.
Dan, keinginan Syekh Ihsan al-Jampesi tersebut terwujud dengan berdirinya sebuah madrasah dalam lingkungan Ponpes Jampes di tahun 1942. Madrasah yang didirikan pada zaman pendudukan Jepang itu diberi nama Mufatihul Huda yang lebih dikenal dengan sebutan 'MMH' (Madrasah Mufatihul Huda).

Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Jampes terus didatangi para santri dari berbagai penjuru Tanah Air untuk menimba ilmu. Kemudian, dalam perkembangannya, pesantren ini pun berkembang dengan didirikannya bangunan-bangunan sekolah setingkat tsanawiyah dan aliyah. Dedikasinya terhadap pendidikan Islam di Tanah Air terus ia lakukan hingga akhir hayatnya pada 15 September 1952.


Siraj Al-Thalibin, Kitab yang Sarat dengan Ilmu Tasawuf
Umat Muslim yang pernah menuntut ilmu agama di pesantren tentu pernah mendengar atau bahkan memiliki sebuah buku berbahasa Arab berjudul Siraj al-Thalibin karya Syekh Ihsan Dahlan al-Jampesi. Kitab tersebut merupakan syarah Minhaj Al-Abidin karya Imam Al-Ghazali, seorang ulama dan filsuf besar di masa abad pertengahan.

Syekh Jampes - Siraj al-Thalibin

Gambar Kitab Siraj al-Thalibin

Kitab Siraj al-Thalibin disusun pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali pada 1936 oleh penerbitan dan percetakan An Banhaniyah milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa'ad dan saudaranya Achmad) di Surabaya yang bekerja sama dengan sebuah percetakan di Kairo, Mesir, Mustafa Al Baby Halabi. Yang terakhir adalah percetakan besar yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya ulama besar abad pertengahan.

Siraj al-Thalibin terdiri atas dua juz (jilid). Juz pertama berisi 419 halaman dan juz kedua 400 halaman. Dalam periode berikutnya, kitab tersebut dicetak oleh Darul Fiqr--sebuah percetakan dan penerbit di Beirut, Lebanon. Dalam cetakan Lebanon, setiap juz dibuat satu jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua 554 halaman.

Kitab tersebut tak hanya beredar di Indonesia dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tetapi juga di negara-negara non-Islam, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia, di mana terdapat jurusan filsafat, teosofi, dan Islamologi dalam perguruan tinggi tertentu. Sehingga, kitab Siraj al-Thalibin ini menjadi referensi di mancanegara.

Tidak hanya itu, kitab ini juga mendapatkan pujian luas dari kalangan ulama di Timur Tengah. Karena itu, tak mengherankan jika kitab ini dijadikan buku wajib untuk kajian pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sebuah lembaga perguruan tinggi tertua di dunia.

Kitab ini dipelajari beberapa perguruan tinggi lain dan digunakan oleh hampir seluruh pondok pesantren di Tanah Air dengan kajian mendalam tentang tasawuf dan akhlak. Menurut Ketua PBNU, KH. Said Aqil Siradj, seperti dikutip dari situs NU Online, kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum Muslim di Afrika dan Amerika.

Karya fenomenal ulama dari Dusun Jampes, Kediri, ini belakangan menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air. Ini setelah sebuah penerbitan terbesar di Beirut, Lebanon, kedapatan melakukan pembajakan terhadap karya Syekh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi. Perusahaan penerbitan dengan nama Darul Kutub Al-Ilmiyah ini diketahui mengganti nama pengarang kitab Siraj al-Thalibin dengan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Bahkan, kitab versi baru ini sudah beredar luas di Indonesia.

Dalam halaman pengantar kitab Siraj al-Thalibin versi penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah, nama Syekh Ihsan al-Jampesi di paragraf kedua juga diganti dan penerbit menambahkan tiga halaman berisi biografi Syekh Ahmad Zaini Dahlan yang wafat pada 1941, masih satu generasi dengan Syekh Ihsan al-Jampesi yang wafat pada 1952. Sementara itu, keseluruhan isi dalam pengantar itu bahkan keseluruhan isi kitab dua jilid itu sama persis dengan kitab asal. Penerbit juga membuang taqaridh atau semacam pengantar dari Syekh KH. Hasyim Asyari (Jombang), Syekh KH. Abdurrahman bin Abdul Karim (Kediri), dan Syekh KH. Muhammad Yunus Abdullah (Kediri).

Kitab tersebut menawarkan konsep tasawuf di zaman modern ini. Misalnya, pengertian tentang uzlah yang secara umum bermakna pengasingan diri dari kesibukan duniawi. Menurut Syekh Ihsan, maksud dari uzlah di era sekarang adalah bukan lagi menyepi, tapi membaur dalam masyarakat majemuk, namun tetap menjaga diri dari hal-hal keduniawian.


sumber : Republika


erpa signature
Rabu, 14 Sya'ban 1430 H / 5 Agustus 2009 M

Selintas Kata Tersurat


"It is not just words but the feeling in one's heart"

Terlintas di benak saya ketika menanggapi ada seseorang anak manusia yang sedang mencoba untuk mulai mengerti seperti apa rasa cinta kepada manusia lainnya.

Dzulhijjah 1430 H / Desember 2009 M

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Blog ini berisi pengalaman saya tentang pengetahuan seputar teknik komputer dan jaringan serta pengalaman-pengalaman lainnya yang bisa menginspirasi Anda. Selain itu berisikan semua hal dari uneg-uneg sampai motifasi dan renungan bagi diri pribadi. Juga gaya hidup dan informasi lainnya yang berguna ada di sini. :D

Republika Online RSS Feed

Jadwal Waktu Sholat untuk Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya

Trafik Para Pembaca Blog

free counters