Sembari menunggu pagi tiba, secara waktu penulisan postingan ini adalah pukul 04.09 WIB, enaknya baca-baca blog orang dan mulai mempelajari hikmah yang terkandung di dalamnya. Tiba-tiba juga, teringat beberapa kejadian yang bisa dibilang tak enak untuk dilihat. Apalagi terjadi di jalanan ibukota yang penuh dengan hiruk pikuk berbagai alat transportasi darat yang bermacam-macam bentuknya.
Dimulai dari Rabu malam Kamis kemarin. Seperti yang telah tercetak di jadwal, hari ini ku dapat shift malam. Sehabis sholat maghrib langsung keluar dengan hati yang tak keruan. Singkat cerita, beberapa saat setelah turun dari kendaraan pertama lalu menunggu bus ke arah Senen. Tumben, tak berapa lama bus pun datang namun waktu berbelok dan pada saat itu juga ku naik, bus itu enggan untuk berhenti walau sesaat.
Sampailah pada sebuah kursi kosong dan bisa kutempati untuk duduk sesaat sampai ke tujuan berikutnya, Senen. Bus ini dikendarai dengan agak kasar dan dibawa dalam kecepatan yang menurut ku kurang pantas untuk jalanan dengan ukuran lebar kurang dari 5 meter sementara di sisi kanan atau kirinya ada saja kendaraan yang mengapit.
Tiba di jalan menuju gang kelor, tepatnya sebelah kiri patung yang menggambarkan berdiri tegak dua orang manusia. Seorang bapak dan seorang anak yang berada di dekat shelter TransJakarta Kebon Pala. Bus P9A yang kutumpangi terus melaju dengan gas yang terus tertancap tanpa diredam dengan pedal rem dan ku kira itu yang membuat pengendara sepeda motor di depannya ikut melaju cepat. Sementara di depan bus itu pula yang kebetulan sudah hampir sejajar dengan motor tadi, sudah ada dua orang yang sedang menyeberang jalan. Entah kapan munculnya.
Dua orang itu jika bisa digambarkan hanya memiliki dua pilihan. Tetap menyeberang dengan agak pelan dengan menunggu motor di depannya terlintas namun harus mengambil resiko dicium bus P9A yang ku tumpangi ini. Atau pilihan yang lain. Tetap menyeberang dengan agak cepat untuk menghindari ciuman bus P9A dengan resiko diendus sepeda motor di depannya.
Akhirnya, dengan mata kepala yang sudah terlalu banyak pikiran saat itu, ku lihat kedua orang itu memilih opsi kedua. Innalilahi, tersentak karena kageet melihat apa yang baru saja terjadi. Ternyata dugaanku salah. Kedua orang yang harusnya diendus sepeda motor itu tetap pada posisinya menyeberang jalan sambil menabrakan diri ke sepeda motor yang seketika itu pengendara dan motornya itu pun oleng dan terjatuh.
Wallahu a'lam, bagaimana akhirnya nasib mereka. Bus P9A tetap melaju menuju Senen dengan rasa congkaknya. Bahkan, si kondektur dengan gampangnya mengeluarkan sumpah serapah yang tak pantas untuk menilai keapesan si pengendara sepeda motor itu. Huff.. apa yang salah dengan otaknya. Mungkin karena sudah petang menjelma sehingga itu adalah sebuah hiburan baginya untuk melampiaskan kepenatan mencari sesuap nasi lewat menagih uang tarif bus kota.
Itu baru cerita petang menjelang malam hari. Berbeda pula dengan pagi harinya. Setelah yakin yang kulihat itu bus jurusan Kampung Melayu, langsung saja ku berlari menyongsongnya. Dengan terengah-engah dan disertai mata yang mulai mengantuk karena begadang untuk monitor di malam hari, ku mulai berdiri bersandar kursi penumpang di depan. Penuh sudah kursi yang ada dengan para penumpang yang ku lihat telat terlebih dahulu menikmati tidur singkatnya di bus ini.
Bertahan untuk berdiri hingga beberapa menit ke depan, tak lebih dari empat puluh menit ku rasa. Hingga dapatlah sebuah kursi yang baru saja ditinggalkan penduduknya. Ku coba istirahatkan diri. Belum sempat terlelap, tiba-tiba ku lihat dari sisi kiri sebuah mobil sejenis Toyota Avanza keluar tanpa coba menunggu kendaraan yang ku tumpangi memberhentikan dirinya. Sebenarnya, bus ini hendak menepikan diri untuk menurunkan penumpang dan si kondektur sedang koordinasi untuk menurunkan penumpang dari pintu belakang bus. Sementara si supir sendiri sedang mengawasi sisi kanan bus lewat kaca spion.
Seketika itu, brakkk... Bunyi yang akan menimbulkan penyakit sosial pun terdengar di telinga para penumpang bus. Ternyata, mobil Avanza tadi yang mencoba keluar dari sebuah gerbang terserempet bus yang kutumpangi yang hendak menepikan diri. Bus coba ditepikan agak ke depan. Tiba-tiba, seorang oknum polisi yang tak lain adalah supir mobil tersebut meminta sang supir turun secara kasar. Seperti sudah kerasukan setan, dia coba meraih baju sang supir dan hendak menariknya keluar yang ingin diajaknya bergelut. Penumpang pun panik.
Sang supir bus mencoba bertahan untuk turun namun tidak ingin memancing amarah si oknum tersebut. Kemudian dengan dibantu sang kondektur si supir coba menyelesaikan masalah. Namun dari cerita yang beredar dari para penumpang yang turun dan ikut menyaksikan kejadian itu disertai dengan layangan pukulan si oknum kepada sang supir. Mata dan badan ku sudah terlalu lelah untuk ikut turun menyaksikan dan akhirnya coba untuk duduk dan ingin tidur rasanya. Sampai beberapa saat kejadian itu selesai dan ku lihat ada orang yang sempat mencatat ciri-ciri dan nomor polisi bus ini seperti ingin meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
Apakah baginya ini bukan merupakan suatu teguran terhadapnya ??? Bisa jadi mobil itu memang ditakdirkan untuk diberikan tanda kenang-kenangan berupa luka lecet akibat gesekan akibat terserempet. Hal itu mungkin saja terjadi karena cara mendapatkan mobil itu boleh jadi ada yang kurang baik.
Apakah orang yang seharusnya menjadi pengaman malah menjadi biang pembawa penyakit sosial, pemutus rasa saling hormat menghormati sebagai manusia yang sama derajatnya, yang sama-sama berjalan di muka bumi untuk mencari sesuap nasi melalui perannya masing-masing ??? Sungguh, dia telah menghinakan dirinya sendiri.
Orang yang diberi kekuasaan lewat tangannya supaya dapat menegakkan keadilan pada setiap tindak kekerasan malah dia yang memicu. Apakah dunia ini sudah tidak memerlukan peradaban sehingga setiap masalah harus diselesaikan dengan tindak kekerasan dan memakai hukum rimba ???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar