Jumat, 10 September 2010, 22:04 WIB
REPUBLIKA.CO.ID,Penelitian baru menunjukkan rambut kita bisa menjadi kunci untuk mengukur tingkat stres. Penelitian itu menemukan bahwa hormon stres kortisol bisa diukur dalam rambut, memberi perkiraan jangka panjang pertama dari stres kronis yang tidak mengandalkan ingatan seseorang. Kortisol tingkat tinggi dalam rambut dihubungkan dengan serangan jantung.
Para peneliti mengatakan, penemuan ini bisa memberi cara baru untuk meneliti stres kronis. Bila hasilnya bisa diulangi, tes bisa digunakan dokter untuk mengidentifikasi risiko tinggi orang terhadap penyakit jantung.
Rambut pada rambut anda mati, tetapi kantung rambut, atau akar hidup. Unsur seperti kortisol, yang bisa dilepaskan ke dalam aliran darah saat anda stres, bisa meresap ke dalam kantung rambut dari pembuluh darah kecil di kulit kepala. Seperti rambut tumbuh, jejak kortisol terjebak dalam poros, memberikan cara bagi para peneliti untuk mengukur hormon dari waktu ke waktu.
Karena rambut tumbuh kira-kira 1 cm per bulan, kebanyakan orang memiliki atas perkiraan tingkat kortisol pada rambut dalam waktu berbulan-bulan. Pengukuran kortisol dalam darah atau urin sebelumnya dapat merekam jumlah hormon hanya beberapa jam atau hari.
"(Rambut) memberitahu apa yang terjadi pada anda selama 10 bulan. Bahkan saya bisa melihat bagaimana hal-hal berubah setiap bulan," kata Gideon Koren, profesor ilmu kesehatan anak-anak dan ilmu racun dari University of Western Ontario, kepada LiveScience.
Koren, sebelumnya menggunakan contoh rambut untuk mengukur kandungan racun obat-obatan pada bayi yang ibunya menggunakan kokain dan heroin selama hamil.
Dia mempelajari bahwa rekan lainnya menggunakan metode yang mirip untuk mendeteksi steroid dalam binaragawan. Bila rambut bisa secara akurat mengukur steroid, itu mungkin juga mempertahankan hormon lain, seperti kortisol.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kortisol bertahan di rambut setidaknya selama enam bulan, dan dan dalam kasus beberapa ibu Peru, sampai 1.500 tahun.
Rambut dan serangan jantung
Koren dan koleganya mengambil contoh rambut dari 120 pria yang diperiksa di unit penyakit jantung Meir Medical Center di Israel. Setengah dari pria yang diperiksa mengalami serangan jantung, sementara setengahnya lagi didiagnosis menderita penyakit lain seperti nyeri dada dan infeksi. Hanya pria yang diteliti sebab serangan jantung lebih umum terjadi pada pria, dan karena perbedaan hormon antara pria dan wanita bisa tidak simetris dengan hasil.
Para peneliti menganalisis tingkat kortisol dalam 3 cm rambut yang terdekat dengan kulit kepala, mewakili hidup pasien selama tiga bulan terakhir. Mereka menemukan bahwa tingkat kortisol lebih tinggi pada pria yang mengalami serangan jantung dibanding pria yang memiliki penyakit lain.
Saat para peneliti membagi pria-pria itu dalam seperempat berdasarkan tingkat kortisol mereka, mereka menemukan bahwa pria yang memiliki tingkat terendah, 32 persen mengalami serangan jantung. Pada pria dalam seperempat kortisol teratas, jumlahnya meningkat menjadi 68 persen.
Hasilnya diadakan bahkan setelah mengontrol faktor risiko lain serangan jantung seperti tingkat kolesterol dan massa indeks tubuh. "Tentu saja, itu bukan satu-satunya, tetapi kortisol adalah faktor penentu penting dari infark miokard akut (istilah teknis untuk serangan jantung)," kata Koren.
Koren memperingatkan, hasilnya perlu diulangi dengan pasien dalam jumlah besar sebelum mengetes kortisol rambut berlaku. Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat kortisol dalam rambut sesuai dengan tingkat kortisol dalam darah, tetapi Koren dan koleganya belum yakin bila hasil mereka akan diterapkan pada wanita. Mereka juga tidak mengetes apakah tingkat kortisol rambut sesuai dengan perasaan stres seseorang yang subyektif.
Koren mengatakan, bagaimanapun juga bila tes berhasil, itu bisa menjadi cara non-invasif untuk mengukur stres sepanjang waktu, itu penting karena ingatan stres jangka panjang orang-orang tidak selalu bisa diandalkan.
"Itu bisa menjadi alat lain bagi kita, bila mungkin dilakukan dan tidak mahal. Kita perlu memiliki penelitian bagus yang sangat menghubungkan hubungan antara stres dan kemudian masalah kejiwaan pada wanita dengan tahap reproduksi kehidupan berbeda," kata Alicja Fishell, seorang psikiater di Women's College Hospital di Toronto, Kanada.
Fisnell pernah bekerja sama dengan Koren sebelumnya tetapi tidak terlibat dalam penelitian saat ini. Dia mengatakan penemuan suatu hari nanti bisa terbukti berguna untuk meneliti dalam bidangnya, kesehatan reproduksi, karena efek stres kronis pada wanita hamil dan janin tidak dipahami dengan baik.
Sumber : Republika Online
Para peneliti mengatakan, penemuan ini bisa memberi cara baru untuk meneliti stres kronis. Bila hasilnya bisa diulangi, tes bisa digunakan dokter untuk mengidentifikasi risiko tinggi orang terhadap penyakit jantung.
Rambut pada rambut anda mati, tetapi kantung rambut, atau akar hidup. Unsur seperti kortisol, yang bisa dilepaskan ke dalam aliran darah saat anda stres, bisa meresap ke dalam kantung rambut dari pembuluh darah kecil di kulit kepala. Seperti rambut tumbuh, jejak kortisol terjebak dalam poros, memberikan cara bagi para peneliti untuk mengukur hormon dari waktu ke waktu.
Karena rambut tumbuh kira-kira 1 cm per bulan, kebanyakan orang memiliki atas perkiraan tingkat kortisol pada rambut dalam waktu berbulan-bulan. Pengukuran kortisol dalam darah atau urin sebelumnya dapat merekam jumlah hormon hanya beberapa jam atau hari.
"(Rambut) memberitahu apa yang terjadi pada anda selama 10 bulan. Bahkan saya bisa melihat bagaimana hal-hal berubah setiap bulan," kata Gideon Koren, profesor ilmu kesehatan anak-anak dan ilmu racun dari University of Western Ontario, kepada LiveScience.
Koren, sebelumnya menggunakan contoh rambut untuk mengukur kandungan racun obat-obatan pada bayi yang ibunya menggunakan kokain dan heroin selama hamil.
Dia mempelajari bahwa rekan lainnya menggunakan metode yang mirip untuk mendeteksi steroid dalam binaragawan. Bila rambut bisa secara akurat mengukur steroid, itu mungkin juga mempertahankan hormon lain, seperti kortisol.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kortisol bertahan di rambut setidaknya selama enam bulan, dan dan dalam kasus beberapa ibu Peru, sampai 1.500 tahun.
Rambut dan serangan jantung
Koren dan koleganya mengambil contoh rambut dari 120 pria yang diperiksa di unit penyakit jantung Meir Medical Center di Israel. Setengah dari pria yang diperiksa mengalami serangan jantung, sementara setengahnya lagi didiagnosis menderita penyakit lain seperti nyeri dada dan infeksi. Hanya pria yang diteliti sebab serangan jantung lebih umum terjadi pada pria, dan karena perbedaan hormon antara pria dan wanita bisa tidak simetris dengan hasil.
Para peneliti menganalisis tingkat kortisol dalam 3 cm rambut yang terdekat dengan kulit kepala, mewakili hidup pasien selama tiga bulan terakhir. Mereka menemukan bahwa tingkat kortisol lebih tinggi pada pria yang mengalami serangan jantung dibanding pria yang memiliki penyakit lain.
Saat para peneliti membagi pria-pria itu dalam seperempat berdasarkan tingkat kortisol mereka, mereka menemukan bahwa pria yang memiliki tingkat terendah, 32 persen mengalami serangan jantung. Pada pria dalam seperempat kortisol teratas, jumlahnya meningkat menjadi 68 persen.
Hasilnya diadakan bahkan setelah mengontrol faktor risiko lain serangan jantung seperti tingkat kolesterol dan massa indeks tubuh. "Tentu saja, itu bukan satu-satunya, tetapi kortisol adalah faktor penentu penting dari infark miokard akut (istilah teknis untuk serangan jantung)," kata Koren.
Koren memperingatkan, hasilnya perlu diulangi dengan pasien dalam jumlah besar sebelum mengetes kortisol rambut berlaku. Penelitian lain menunjukkan bahwa tingkat kortisol dalam rambut sesuai dengan tingkat kortisol dalam darah, tetapi Koren dan koleganya belum yakin bila hasil mereka akan diterapkan pada wanita. Mereka juga tidak mengetes apakah tingkat kortisol rambut sesuai dengan perasaan stres seseorang yang subyektif.
Koren mengatakan, bagaimanapun juga bila tes berhasil, itu bisa menjadi cara non-invasif untuk mengukur stres sepanjang waktu, itu penting karena ingatan stres jangka panjang orang-orang tidak selalu bisa diandalkan.
"Itu bisa menjadi alat lain bagi kita, bila mungkin dilakukan dan tidak mahal. Kita perlu memiliki penelitian bagus yang sangat menghubungkan hubungan antara stres dan kemudian masalah kejiwaan pada wanita dengan tahap reproduksi kehidupan berbeda," kata Alicja Fishell, seorang psikiater di Women's College Hospital di Toronto, Kanada.
Fisnell pernah bekerja sama dengan Koren sebelumnya tetapi tidak terlibat dalam penelitian saat ini. Dia mengatakan penemuan suatu hari nanti bisa terbukti berguna untuk meneliti dalam bidangnya, kesehatan reproduksi, karena efek stres kronis pada wanita hamil dan janin tidak dipahami dengan baik.
Sumber : Republika Online
erpa
Senin, 4 Syawal 1431 H / 13 September 2010 M - 08.40 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar