Ulama yang Membangun Saluran Irigasi
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) adalah ulama fiqih madzhab Syafi'i pengarang kitab Sabilal Muhtadin yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Kitabnya yang paling terkenal ini banyak dijadikan rujukan Hukum Fiqih mazhab Syafi'i di Asia Tenggara.
Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dini hari 15 Shafar 1122 H. bertepatan 19 Maret 1710 M sebagai anak pertama dari keluarga muslim yang taat beragama, yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Nama lengkap Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari bin Saiyid Abu Bakar bin Saiyid Abdullah al-'Aidrus bin Saiyid Abu Bakar as-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman as-Saqaf bin Saiyid Muhammad Maula ad-Dawilah al-'Aidrus, dan seterusnya sampai kepada Saidina Ali bin Abi Thalib dan Saidatina Fatimah bin Nabi Muhammad SAW.
Kakek Arsyad berhasil mendirikan Kerajaan Mindanao di Filiphina. Ayah Abdullah bernama Abu Bakar (kakek Muhammad Arsyad) adalah Sultan Mindanao. Abdullah pernah pula memimpin pasukan Mindanao dalam peperangan melawan Portugis, kemudian ikut melawan Belanda lalu pindah bersama isterinya ke Banjar (Martapura, Kalimantan).
Sekilas Kelebihan
Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, hingga sampailah sang Sultan ke kampung Lok Gabang. Alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka sang Sultan bertanya, siapakah pelukisnya, lalu ia mendapat jawaban bahwa Muhammad Arsyad adalah sang pelukis yang sedang dikaguminya. Mengetahui kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan, sebuah keinginan untuk mengasuh dan mendidik Arsyad kecil di istana. Usia Arsyad sendiri ketika itu baru sekitar tujuh tahun.
Sultanpun mengutarakan keinginan hatinya kepada kedua orang tua Muhammad Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas anaknya tercinta. namun demi masa depan sang buah hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka diterimalah tawaran sang sultan. Kepandaian Muhammad Arsyad dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan sultan pun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.
Setelah dewasa beliau dinikahkan dengan seorang perempuan sholihah (yang juga) bernama Siti Aminah (Tuan "BAJUT"), seorang perempuan yang ta'at lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian do'a mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada para ulama terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau adalah Syekh 'Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al-'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani yang merupakan guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf. Di bawah bimbingan gurunya inilah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah dengan kedudukan sebagai khalifah.
Menurut riwayat dari Khalifah al-Sayyid Muhammad al-Samman, pada waktu itu Indonesia hanya ada empat orang khalifah, yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (kalimantan), Syekh Abdulk Shomad al-Palembani (Palembang, Sumatera), Syekh Abdul Wahab Bugis (Sulawesi) dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi Jawa). Mereka berempat dikenal dengan "Empat Serangkai dari Tanah Jawi" yang sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain al-Syarifain.
Muhammad Arsyad belajar di Mekah sekitar 30 tahun dan di Madinah sekitar lima tahun. Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut oleh hampir semua penulis ialah Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis, yang terakhir ini kemudian menjadi menantunya.
Guru-gurunya
Di antara sekian banyak ulama yang menjadi gurunya, beberapa di antaranya sangat populer, yakni Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Madani.
Selain belajar kepada ulama-ulama Arab, bersama dengan kawan-kawan seangkatannya, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, juga belajar kepada ulama-ulama yang berasal dari NUsantara. Di antara gurunya yang berasal dari Melayu ialah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani, dan lain-lain.
Selama belajar di Mekah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari tinggal di sebuah rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Rumah tersebut terletak di kampung Samiyah yang disebut juga dengan Barhat Banjar.
Semua ilmu keislaman yang telah dipelajarinya di Mekah dan Madinah mempunyai sanad atau silsilah yang musalsal (bersambung kontinyu tanpa putus. Hal ini cukup jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh Yasin Padang dalam beberapa karyanya.
Durasi masa belajar di Mekah dan Madinah yang demikian lama serta banyaknya jumlah pelajaran dan jenis kitab dipelajari, dan kapabilitas ulama tempatnya berguru menjadikan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari akhirnya menjadi seorang ulama besar tanah Jawi atau dunia Melayu (Nusantara).
Jasa-jasa bagi Bangsa
Setelah sekitar 35 tahun menuntut ilmu di tanah suci, timbullah kerinduannya pada kampung halaman. Pada Bulan Ramadhan 1186 H. bertepatan 1772 M., sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya kembali, Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu. Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat pun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Nusantara.
Aktivitas Muhammad Arsyad sepulangnya dari Tanah Suci, dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga ia menjadi raja yang 'alim dan wara'.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama yang diakui kehebatannya oleh para ulama setelahnya. Tanda kebesaran jasanya ini selain berupa karya-karya tulisnya yang telah menjadi bagian integral dalam khasanah keilmuan Islam Nusantara juga dapat kita buktikan hingga saat ini melalui jalur irigasi yang dibangunnya bersama warga masyarakat Banjar untuk melancarkan dan meningkatkan produksi pertanian di tanah Banjar. Hingga saat ini manfaat saluran irigasi yang dibangun oleh sang syeikh masih dapat dirasakan oleh penduduk sekitar. Kini saluran irigasi tersebut diberi nama Sungai Datuk uantuk mengenang jasa-jasa beliau.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muhammad Arsyad mempunyai beberapa metode yang saling menunjang antara satu dengan yang lainnya. Metode-metode dakwah tersebut adalah :
Dakwah bilhal : Keteladanan yang baik (uswatun hasanah) yang direfleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur kata sehari-hari serta disaksikan secara langsung bersama murid-muridnya.
Dakwah billisan : mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, handai taulan dan seluruh masyarajat secara umum.
Dakwah bilkitabah : menggunakan bakat di bidang tulis-menulis, sehingga lahirlah kitab-kitab yang menjadi pegangan umat.
Karya-karya
Semasa hidupnya, di tengah-tengah perjuangannya berdakwah, Syeikh Arsyad selalu menyempatkan diri untuk menggoreskan tinta demi kesinambungan tersampainya ilmu-ilmu pengetahuan kepada umat sepanjang generasi.
Adapun karya-karya Syeikh Arsyad yang sempat dicatat adalah :
1. Tuhfah al-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu'minin wa ma Yufsiduhu Riddah al-Murtaddin, karya pertama, diselesaikan tahun 1188 H./1774 M.
2. Luqtah al-'Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H./1778 M.
3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H./1780 M.
4. Risalah Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamatil Mahdil Muntazhar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiul Awal 1196 H./1781 M.
5. Kitab Bab an-Nikah.
6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
7. Kanzu al-Ma'rifah
8. Ushul ad-Din
9. Kitab al-Faraid
10. Kitab Ilmu Falak
11. Hasyiyah Fathul Wahhab
12. Mushhaf al-Quran al-Karim
13. Fathur Rahman
14. Arkanu Ta'lim al-Shibyan
15. Bulugh al-Maram
16. Fi Bayani Qadha' wa al-Qadar wa al-Waba'
17. Tuhfah al-Ahbab
18. Khuthbah Muthlaqah Pakai Makna.
Meninggalkan banyak sekali keturunan di berbagai belahan Nusantara. Putera-puteri yang ditinggalkan merupakan generasi lintas bangsa karena Syeikh Arsyad memiliki beberapa Istri lintas bangsa. Di antara keturunan-keturunan Beliau banyak sekali yang kemudian menjadi ulama-ulama besar di berbagai bangsa penghuni Nusantara sepereti Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam dan Pattani.
Setelah sekitar 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya di Pagar Dalam, pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H. (1812 M.) Allah SWT memanggil kembali Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ke hadirat-Nya dalam usia 105 tahun. Karena dimakamkan di desa Kalampayan, Beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.
sumber tulisan