Ada film baru asal Turki sebagai pembuatnya. Yang menarik adalah film ini 'based on true story' karena mengisahkan tokoh nyata pada zaman Sultan Muhammad II dalam mengambil alih Konstantinopel yang sudah Rasulullah SAW kabarkan kejatuhannya ke tangan kaum muslimin sebelumnya. Berikut adalah ulasan yang saya baca pagi ini. Memang sangat menarik dan ekspektasi saya mengharapkan film ini bisa masuk ke Indonesia. :D
  
| Fetih 1453 | 
dakwatuna.com - “Kota Konstantinopel akan jatuh 
ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik 
pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik 
pasukan.”
Demikianlah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad bin
 Hanbal, sebuah kalimat yang diucapkan oleh Rasulullah SAW di abad ke-7.
 Pancaran optimisme yang luar biasa dari beliau di saat kaum muslimin 
masih belum bebas bergerak di seputar jazirah Arab. Namun kemantapan 
hati bahwa agama ini akan berkembang pesat dan luas itu sangat 
menenangkan para sahabat.
Membayangkan masuknya Islam hingga ke 
jantung sebuah negara adidaya, mungkin setara dengan mengatakan bahwa 
nantinya Gedung Putih akan menjadi salah satu icon peradaban 
muslim. Nyaris tak tergambarkan. Namun keimanan kepada Rasulullah adalah
 satu syarat mutlak seorang mukmin, maka setiap benak yang ada pada para
 sahabat pun bertekad kuat untuk mewujudkannya. Semua berdoa, memohon 
kepada Allah SWT bahwa ia-lah yang dimaksud dalam hadits tersebut. 
Sebaik-baik pemimpin, sebaik-baik pasukan. Subhanallah.
Film 
“Fetih 1453“ buatan Turki yang disutradari Faruk Aksoy ini diluncurkan 
serentak di berbagai belahan dunia pada tanggal 16 Februari 2012. Momen 
diriwayatkannya hadits tersebut dijadikan pembuka alur cerita, sekaligus
 mengisyaratkan bahwa keseluruhan visualisasi yang disajikan adalah 
bentuk adaptasi dari kisah nyata yang terjadi ratusan tahun silam. Saat 
itu, tentara kesultanan Usmani di bawah komando langsung dari sang 
Sultan Muhammad II mampu menaklukkan kota dengan pertahanan terbaik di 
dunia, yakni Konstantinopel.
| Faruk Aksoy, sutradara Fetih 1453 (IMDb) | 
Dengan menjual predikat kepahlawanan 
yang “based on true story“, tentu saja beban yang dibawa oleh film ini 
cukup berat. Namun bagaimana pun, yang hadir di gedung bioskop dan 
menyaksikan film ini dapat dikategorikan setidaknya satu dari empat 
tipe: (1) penikmat sejarah, (2) pendamba hiburan Islami, (3) pengamat 
film, atau (4) penonton biasa yang “nothing to lose“.
Bagi
 penonton tipe pertama, hadirnya bumbu dalam ceritera yang disuguhkan 
tidaklah terlalu penting. Yang harus diperhatikan adalah tahun, 
kejadian, kutipan, serta visualisasi. Semisal, bagaimana dalam “Fetih 
1453” Selat Bosphorus ditampilkan terpagari oleh rantai besar yang dapat
 menghalangi kapal-kapal perang untuk melaluinya. Atau, momen di mana 
meriam besar berukuran 8 meter itu dibuat kemudian ditarik oleh ratusan 
orang dan puluhan kerbau ke medan laga. Jika unsur-unsur ini terpenuhi, 
yang lain sedikit-banyak boleh diabaikan.
Berbeda dengan itu, 
penonton tipe kedua akan lebih cenderung pada karakter di dalam film 
yang disaksikan. Apabila terjadi penggambaran yang keliru pada tokoh 
kunci, maka nilai tontonan itu akan menurun di hadapannya. Memang 
mustahil mendapatkan protagonis yang terlalu sempurna, namun ada harapan
 besar bahwa ciri-ciri utama yang ada dalam benaknya, dapat terpenuhi.
Tipe
 ketiga lebih cenderung menjadi observer. Pada umumnya, sepanjang film 
ia “sibuk” melakukan komparasi dengan film lain atau menganalisa 
logis-tidaknya alur cerita yang disajikan. Untuk film perang kolosal 
yang berlandaskan kisah nyata, perbandingan yang “apple-to-apple“ antara
 lain bisa diambil dari Kingdom of Heaven (dibintangi oleh Orlando Bloom
 & Liam Neeson), Braveheart (Mel Gibson), atau Troy (Brad Pitt &
 Eric Bana). Juga sedikit banyak film seperti Hero (Jet Li & Donnie 
Yen).
Sedangkan tipe keempat atau terakhir biasanya tidak terlalu 
mempermasalahkan apa pun, namun mendambakan sebuah alur cerita yang utuh
 serta tidak membingungkan. Umumnya menyukai humor ringan, kejutan kecil
 atau adegan yang heroik, sesuai tipe film yang ditonton. Kalimat 
saktinya “tidak apa-apa melenceng dari sejarah, sosok aslinya atau agak 
tidak masuk akal, asal enak ditonton”. Dan justru tipe inilah yang 
mayoritas di antara para penonton bioskop.
Jika Anda penonton tipe pertama,
maka
 mungkin Anda akan temukan adanya berbagai hal yang cukup memenuhi 
standar di film “Fetih 1453“. Pencantuman bulan dan tahun yang cukup 
cermat di awal beberapa peristiwa kunci, juga beberapa hari penting 
dalam peperangan. Beberapa penggambaran tentang perang yang terjadi pun 
dapat dianggap sesuai dengan beberapa ilustrasi yang ada di berbagai 
sumber.
Sultan Muhammad II (Mehmed II) yang diperankan oleh Devrim
 Evin juga mampu memuat sosok tegas yang memancarkan tekad bulat untuk 
menaklukkan Konstantinopel. Beberapa karakter penting seperti Ulubatli 
Hasan (meski sebagian orang menyatakan ini adalah tokoh fiktif), 
Giustiniani (pimpinan pasukan khusus penjaga benteng Konstantinopel), Ak
 Syamsuddin (guru dari Mehmed II) hingga raja Konstantin XI juga mampu 
membangun nuansa sejarah yang padu. Juga penggambaran kota dan 
bangunan-bangunan yang ada pada masa itu, cukup realistis.
| Pasukan Usmani dan meriam-meriam kecilnya bersiap menyerang Konstantinopel (trthaber) | 
Kelemahan
 yang ada, umumnya adalah kompensasi akan kebutuhan dramatisasi. Salah 
satu contoh adalah bagaimana karakter Urban, seorang insinyur yang 
merancang meriam raksasa, digambarkan menolak permintaan pembuatan 
Konstantin XI dan kemudian terancam dibunuh namun berhasil diselamatkan 
oleh Hasan. Yang “agak parah” adalah hadirnya seorang perempuan bernama 
Era dengan status anak angkat Urban. Namun sekali lagi, ini kebutuhan 
alur cerita untuk penonton tipe keempat.
Jika Anda penonton tipe kedua,
di
 satu sisi mungkin Anda akan berbahagia dengan hadirnya film ini. Sebuah
 alternatif di luar tipikal film Hollywood yang hadir dari sebuah negeri
 mayoritas muslim. Tetapi hendaknya ekspektasi Anda tidak perlu terlalu 
tinggi. Untuk keseluruhan film, kemungkinan besar Anda akan puas. Namun 
menyikapi berbagai penggambaran atas karakter-karakter yang ada dalam 
film tersebut, memang mau tidak mau masih ada bias dengan sejumlah 
tontonan yang banyak beredar.
Tidak ada manusia yang sempurna, 
mungkin itu pesan yang ingin ditampilkan. Namun, saat berbagai sumber 
menyebutkan bahwa Sultan Muhammad II tidak pernah sekalipun meninggalkan
 shalat wajib, sunnah rawatib hingga tahajjud, Anda mungkin akan kecewa 
mendapati bahwa sang permaisuri beliau Mukrima Khatun (di dalam film 
menggunakan nama Gulbahar Hatun, namun jelas dikisahkan bahwa ia adalah 
ibu dari Bayazid II), digambarkan tidak berhijab. Gelengan kepala Anda 
juga akan makin lebar saat melihat kesibukan sang ibu negara di 
sepanjang film nyaris hanya bersolek saja. Ya, begitulah adanya film 
tersebut.
Juga, pengaruh Hollywood nampaknya tidak bisa lepas 
dengan mudah. Masih ada saja pernik-pernik yang cukup mengganggu, 
semisal kisah asmara antara Hasan dan Era. Mengingat Hasan dikenang 
sebagai pahlawan besar perang tersebut (yang pasukannya adalah 
sebaik-baik pasukan) sedangkan Era adalah tokoh fiktif, jelaslah bahwa 
ini sekedar mengakomodir keinginan untuk menampilkan alur cerita yang 
dramatis.
Jika Anda penonton tipe ketiga,
bisa jadi 
pertama-tama yang Anda bayangkan adalah bagaimana film ini menampilkan 
sebuah ciri khas, di luar berbagai tontonan yang pernah beredar. 
Mampukah perfilman Turki menampilkan kualitas film yang sejajar dengan 
Hollywood, Eropa atau Asia Timur? Standar yang terlalu tinggi memang, 
namun setidaknya harapan itu masih ada.
Membandingkan dengan 
film-film lain yang bersesuaian tema, maka di berbagai momen Anda akan 
melihat sedikit duplikasi Kingdom of Heaven saat pasukan Usmani berusaha
 memanjat tembok benteng. Dari sudut pandang sejarah memang demikianlah 
situasinya, namun Anda mungkin berharap bisa melihat versi yang agak 
berbeda. Juga, adegan meluncurnya ribuan panah yang visualisasinya masih
 (sedikit) di bawah Hero. Atau adegan negosiasi antara Muhammad II dan 
Konstantin XI yang penggambaran umumnya tidak jauh berbeda dengan Troy. 
Tanpa mengatakan film ini kurang kreatif, namun tanpa sengaja pikiran 
Anda akan lari ke sana jika pernah menyaksikan film-film tersebut.
| Adegan 1 lawan 1 antara Hasan & Giustiniani (haberler) | 
Lagi-lagi
 menyoal dramatisasi, Anda akan menemukan bahwa hubungan emosional yang 
coba dibentuk melalui karakter Era agak “maksa”. Setelah menolak lamaran
 Giustiniani yang merupakan jenderal pertahanan Konstantinopel, Era 
pulang ke rumah ayah angkatnya (Urban sang insinyur meriam), dan 
kemudian menjalin hubungan dengan Hasan yang merupakan pimpinan pasukan 
khusus Usmani. Saya sempat menebak, di suatu bagian dari film akan 
digambarkan pertarungan satu lawan satu antara Hasan dan Giustiniani. 
Dan dengan dinyana, ternyata tebakan saya benar.
Jika Anda penonton tipe keempat,
maka
 Andalah yang berusaha dimanjakan oleh film ini. Banyaknya adegan 
kekerasan seperti – maaf – tangan atau kaki terpotong, leher tertembus 
tombak, dsb mungkin cukup seru bagi penggemar film action. Karena adegan
 semacam itu cukup signifikan, film ini dikategorikan FSK-16 di Jerman 
(tempat saya menontonnya), yang berarti terlarang bagi anak berusia di 
bawah 16 tahun.
Penggemar drama? Hadirlah rentetan bumbu yang 
berkisar di seputar romantika para tokohnya. Hanya bumbu, karena 
seandainya pun adegan-adegan itu tidak ada, jalan cerita tidaklah 
terpengaruh besar. Atau malah sama sekali nggak ngefek. Barangkali sikap
 Sultan Muhammad II yang dingin dan tidak sekalipun bersedia tersenyum 
kepada anak dan istrinya sebelum Konstantinopel takluk membuat Anda 
terbawa, atau bisa juga penggambaran sang raja yang frustrasi menjadi 
titik di mana Anda tersentuh. Walau mungkin, Anda juga akan merasa 
jengkel dengan sikap Konstantin XI yang digambarkan berfoya-foya di 
banyak adegan. Ya, selamat mencari kesesuaian dengan apa yang Anda 
harapkan.
Nah…
apakah film ini layak tonton? Insya Allah, 
iya. Ada perspektif baru yang bisa ditambahkan pada memori Anda, yakni 
film asing yang digagas dan dibuat oleh dunia Islam. Situs rujukan film 
IMDb, saat tulisan ini dibuat, telah merangkum lebih dari 16.000 votes 
dengan nilai rata-rata 8.4 yang berarti sangat tinggi. Memang itu bukan 
patokan satu-satunya, namun sedikit-banyak angka tersebut bisa 
memberikan gambaran bagi kita.
Saya sarankan, jika nantinya 
bioskop di Indonesia memutarnya, saksikan bersama orang-orang yang 
sedikit banyak sudah mengetahui bagaimana peperangan dan tokoh-tokoh 
kunci yang ada di film ini. Syukur-syukur lagi kalau ada yang bisa 
membuat intisari dari berbagai hikmah yang tersedia, apakah itu dari 
sisi Islam, motivasi, dunia perfilman, atau sekedar hiburan. Tapi tentu 
saja itu bukan sebuah keharusan, melainkan sekedar rekomendasi.
Film
 ini hanya tersedia dalam bahasa Turki. Umumnya bioskop-bioskop Jerman 
memutar film asing yang sudah melalui proses dubbing, tapi “Fetih 1453” 
ditayangkan hanya dengan subtitle bahasa lokal. Bisa jadi karena cukup 
banyak orang berkebangsaan atau keturunan Turki di Jerman sini.
Jadi,
 kapan ditayangkan di Indonesia? Entahlah… jika Anda tahu, ayo beri 
informasi melalui komentar Anda di bawah, terlepas dari Anda sudah 
menonton atau belum. Semoga tulisan ini dan apa pun pendapat Anda 
tentang film “Fetih 1453″ bisa bermanfaat bagi kita semua… amin.
Abu
 Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami 
sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, `Mana 
yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?´ Beliau 
menjawab, `Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih 
dulu.’ Maksudnya adalah Konstantinopel.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim)
Sumber:  http://www.dakwatuna.com/2012/03/19168/resensi-film-fetih-1453/#ixzz1oAjlcWnk
Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum...
Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar